Rabu, 27 Mei 2015

Ranu Kumbolo - A Hidden Paradise at 2400 M above sea level

The Smoke of Semeru Mt

Ranu Kumbolo
Semeru is the highest mountain in Java Island with the height reaches 3676 M above the sea level. It is not only that Semeru is the highest mountain in Java that attracts hikers to come, but also the beauty of Ranu Kumbolo – a 15-acre-fresh water lake just below the peak of Mahameru.



For hikers, Ranu Kumbolo is very familiar as this is one transit poin for them to build their tents and have some rest, before continuing their journey reaching the Mahameru. Its water discharge that has never been lack is one of the reasons for hikers to stop and build their tents; while its beauty is another main reason.

Ranu Kumbolo



Sitting overlooking the lake will not only rest the legs and the back bone, but also refresh the eyes. Clear fresh water lake surrounded by hills and the green of trees give nutrition to the eyes after walking so many hours through the woods. The surface of the water is very calm and beautiful as it reflects the sun light. As the dawn over, the sun will rise and appear between the two green hills; deliver a gorgeous greeting to your morning. In the late afternoon, the fog starts to down and reach the surface of the water is another lovely picture to have. While at night, laying by the lake under the clear dark sky will give you a ‘wow’ moment picturing hundred stars – clusters of the milky way. Any time you reach Ranu Kumbolo, the view will never fail you.


Welcome, Sunshine!



Welcoming sunrise

Not far from the lake, you can find a hill called “Bukit Cinta”, which is believed that anyone who climbs the hill by imagining the one they love without turning their heads back, will stay together happily. Besides that, near the lake you can also find an inscription from Majapahit Kingdom and also some memorial stones dedicated to those who died while climbing the Semeru Mountain.

Background - Bukit Cinta (The Hill of Love)


Enjoy lovely morning at Ranu Kumbolo

To reach the place, you need to go to Lumajang District in East Java. From Jakarta, you can find a flight to Surabaya and continue to Malang, or you can take a train to Malang that will take 15 – 16 hours journey. As you reach Malang train station, find transportation to Ranu Pani; which will take around 2 hours driving. Ranu Pani is a village where the climb of Semeru begins.

Ranu Pani - Your starting point to hike Semeru

Register yourself before hiking here!

You need to register yourself before climbing the Semeru; copy of identity card and a letter signed by a doctor stating that you are in good condition are required.

From the starting poin to Ranu Kumbolo (2400M asl), you’ll have to walk around 5 – 7 hours. There are 4 posts built by Perhutani for you to take a rest. All of the hikers are suggested to open their tents in Ranu Kumbolo before they continue their 7 - 10 hours walking to the peak of Mahameru.






Prepare your equipment well, as the temperature in Ranu Kumbolo may reach minus 5 degree Celsius at night. And keep yourself from littering the place. What to wait? Go packing!

Mahameru - The Peak of Semeru


 
Tents in front of the lake 

Ranu Kumbolo

Jumat, 30 Januari 2015

Gowa Edition: Tamalate Palace of Gowa Kingdom and the House of Greatness (Balla Lompoa)

Balla Lompoa (A House of Greatness)

The Palace of Tamalate is the first palace construction of Gowa Kingdoms before the king’s centre was moved into the Port of Somba Opu. Nevertheless, The Tamalate Palace that we can see today is only a replica that was built in1980s; while the real one was damaged by time. The material and size of Tamalate Palace is adjusted to the original based on the study of a number of Makassar ancient manuscripts which tell the story of the Tamalate Palace.

Tamalate Palace


The Tamalate Palace and Balla Lompoa (in Makassar Language means a Big House or a House of Greatness) is a reconstruction of the palace of Gowa Kingdom that was built during the reign of the 31st King of Gowa, named I Mangngi mangngi Daeng Matutu, in 1936. The building architecture is a typical of Bugis-shaped house, which is a stage-house with a two-meter height ladder to get into the patio space. The whole building is made of ironwood, built in a one-hectare area, surrounded by a high wall. This building is now used as a museum.


 This museum keeps a collection of relics of Gowa Kingdoms. In the main room you can see the family pedigree of the Kings of Gowa, from the 1st King, Tomanurunga, in the 13th century up to the last King, Sultan Moch. Abdulkadir Aididdin A. Idjo Karaeng Lalongan, 1947 – 1957. A throne is placed in the middle of the room. Some tools of war, such as spears, old cannons, and Lalong Sipue – an umbrella used on a king’s inauguration, are also displayed in this room.



Balla Lompoa has around 140 relics collections of the Kingdom of Gowa; many made of gold and gemstones, such as crown, bracelets, buttons, necklaces, daggers, etc.

In the King’s personal room, there is a crown in the cone-shape of lotus (five petals) which weighs 1.768 grams studded 250 diamonds; and also a Tatarapang which is a golden dagger weighing 986.5 grams with a length of 51 cm and a width of 13cm. This dagger (keris) is a gift from the Kingdom of Demak in Java Island.




Besides those jewels, there are also some other collections such as spears, papyrus manuscripts, and two pieces of Koran that was hand-written in 1848.

What’s interesting related to this museum is a traditional ceremony called Accera Kalompong. Accera Kalompong is a ceremony held to cleaning the heirlooms stored in the museum. This ritual is done on Eid Al-Adhas. As the prayer finished, the ceremony is held.


Heirloom weapons such as daggers (keris), machetes and spears get special treatment. They are rubbed with fragrant oil, strands of bamboo and lime. This ceremony is witnessed by the descendants of the Kings of Gowa and is open to public. Those who would like to witness the ceremony are subject to wear Makassar traditional costumes.




Besides those heirlooms, there are also some other collections given from other kingdoms abroad, such as a necklace from the Zulu Kingdom, the Philippines in the 16th century; 3 golden spears, a long machete, and a pure gold penning from the British Empire in 1814; and a gold medal as a gift from Dutch.

If you wanna visit this place, the museum is open on Monday – Thursday at 08:00 – 16:00 and on Fridays at 08:00 – 11:00. The location is easy to reach by public transportation. It is located in Jalan Sultan Hasanuddin No. 48, Sungguminasa – Somba Opu, in Gowa regency, South Sulawesi; it is only around 15-20 kilometers from the center of Makassar. 




Selasa, 23 Desember 2014

Sumatera Barat (2): Bukit Tinggi

Hari Tiga:

Hari terakhir tugas saya di Padang. Karena jadwal meeting dan segala urusan sudah dipadatkan kemarin, maka hari ini tidak ada lagi hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Sementara pesawat ke Jakarta masih setelah maghrib nanti.... Terlalu banyak waktu untuk sekedar berkeliling Padang, namun cukup sempit untuk mengunjungi Bukit Tinggi. Akhirnya setelah dipikir-pikir dan berhitung waktu, jadilah saya tekadkan meluncur ke Bukit Tinggi. Kata orang, belum ke Sumatera Barat jika belum menginjakkan kaki di Bukit Tinggi. Demi pengakuan, yuukk mariii kita meluncur.... :D

Lembah Anai

Air Terjun Lembai Anai
Dalam Perjalanan menuju Bukit Tinggi, saya melewati lembah anai. Sebelum saya melihat, yang ada di bayangan saya adalah sebuah air terjun yang cantik di tengah alam hijau yang sejuk. Ternyata lembah anai adalah air terjun di tepi jalan raya yang bisa dilihat saat mobil melintas tanpa harus turun dari kendaraan. Namun begitu saya tetap sempatkan turun untuk menikmati pemandangan sekitar. Air terjun tepi jalan ini adalah bagian dari Cagar Alam Lembah Anai. Di seberang jalan terlihat rel kereta peninggalan jaman Belanda yang sudah tidak lagi difungsikan, namun justru menjadi asesoris tersendiri bagi pemandangan di sana.

Cagar Alam Lembah Anai adalah hamparan hutan hujan tropis yang telah ditetapkan sebagai kawasan suaka alam sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda tahun 1922, namun begitu keberadaan cagar alam seluas 221 ha ini kurang dikenal masyarakat.  Air Terjun Lembah Anai lah yang lebih dikenal, bukan cagar alamnya.

Kabarnya terdapat 2 air terjun lainnya di dalam kawasan hutan, namun saya tidak sempat untuk berkunjung ke sana. Air terjun yang terdapat di pinggir jalan inilah yang menjadi ikon bagi Lembah Anai. Satu yang terlintas di benak saya, jika debit air sedang tinggi tentunya air akan meluap membanjiri jalan raya di bawahnya. Apalagi di sisi jalan raya mengalir Sungai (Batang) Anai yang terlihat cantik, namun dapat berubah “buas” saat musim hujan datang. Luapan airnya bukan saja membanjiri jalan, namun dapat juga merobohkan tembok, menyebabkan kemacetan panjang berkilo meter.

Pandai Sikek – Songket

Tempat pemberhentian lain sebelum mencapai Bukit Tinggi adalah Pandai Sikek, sebuah perkampungan penghasil songket. Saya sempatkan berkeliling, mengunjungi rumah-rumah penghasil songket, melihat cara membuatnya dan memandangi koleksi songket aneka warna yang indah. Di sisi kiri – kanan jalan juga dapat dijumpai toko-toko penjual songket, dan mukena dengan bordir cantik. Hampir saya lupa waktu terlalu asik melihat-lihat, memilih dan menawar. Wanita memang agak susah jika harus menahan waktu berbelanja... :p Setelah mendapat 2 potong songket dan 1 set mukena bordir, sayapun melanjutkan perjalanan menuju Bukit Tinggi.

***
Memasuki wilayah Bukit Tinggi memang terasa bedanya, alam perbukitan yang sejuk, hijau, jalan berkelok, pemandangan sekeliling yang indah, tidak sabar rasanya turun dari mobil dan menjelajah berjalan kaki. Dan ternyata objek wisata di Bukit Tinggi memang saling berdekatan dan bisa dicapai dengan berjalan kaki.

Jam Gadang

Jam Gadang

Objek pertama yang menarik mata adalah Jam Gadang. Sebuah jam tower yang terletak di tengah alun-alun, didirikan pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada controleur, sekretaris Kota Bukit Tinggi saat itu. Kabarnya mesin Jam Gadang ini memiliki kembaran di dunia. Dan kembarannya itu ternyata berada di London. Bisa ditebak? Yup, Big Ben yang terdapat di menara kantor parlemen Inggris yang terkenal itulah kembaran dari Jam Gadang. Forman (seorang bangsawan terkenal) pembuat mesin jam yang berkerja secara manual ini, memberi nama mesin tersebut Brixlion.

Jam Gadang yang awal pembangunannya menghabiskan biaya sekitar 3000 Gulden itu telah mengalami renovasi berkali-kali. Pada jaman Belanda, puncak dari Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan bertengger di atasnya. Kemudian diubah menjadi bentuk klenteng pada jaman Jepang. Barulah setelah Indonesia merdeka, puncak jam Gadang berbentuk rumah adat Minangkabau.

Angka Romawi pada Jam Gadang

Satu hal yang unik dari Jam Gadang yang mungkin luput dari pengamatan orang adalah angka empat Romawi yang terdapat dalam jam tersebut; tidak tertulis IV pada umumnya, namun IIII. Tidak ada yang tau dan tidak pula terdapat keterangan kenapa tertulis IIII, bukan IV. Mungkin IV dapat diartikan sebagai “I Victory” yang berarti “Aku menang”, hal yang tentu saja tidak diinginkan pemerintahBelanda saat itu. Namun secara tertulis tidak ada keterangan resmi mengenai hal tersebut.

Istana Bung Hatta

Istana Bung Hatta

Tepat di seberang Jam Gadang terdapat Istana Bung Hatta. Istana ini dulunya adalah kediaman Asisten Residen Belanda di Bukit Tinggi, yang kemudian digunakan sebagai tempat kediaman Wakil Presiden RI. Sebelum bernama Istana Bung Hatta, bangunan ini dulunya bernama Rumah Tamu Agung, berganti Gedung Tri Arga, dan berganti kembali Wisma Hatta.

Dari Gedung inilah Bung Hatta memimpin perjuangan kemerdekaan di wilayah Sumatera Barat, mengadakan pertemuan dengan pemimpin setempat dan membuat keputusan politik.
Saat ini Istana Bung Hatta difungsikan sebagai tempat penginapan bagi Presiden, Wakil Presiden, serta tamu Negara yang berkunjung ke Sumatera Barat, selain juga digunakan sebagai Gedung Serba Guna Negara.
Sayangnya kita tidak diijinkan masuk mendekati bangunan untuk sekedar tau dan menambah wawasan.  

Pasar Atas - Nasi Kapau

Masih di area sekitar Jam Gadang, tak jauh dari situ terdapat pasar yang disebut pasar atas. Yang terkenal dari pasar atas ini adalah penjual Nasi Kapau yang tersohor rasanya. Sayapun tergoda untuk mencicipi nasi kapau di sini. Nasi Kapau Uni Lis, namanya. Saya harus masuk ke dalam pasar, menyusuri pasar yang becek dan pengap demi membuktikan kelezatan rasa nasi kapau Uni Lis.

Tempat makannya sangat sederhana, seperti halnya warteg di pasar pada umumnya. Begitu masuk ada tumpukan lauk aneka macam yang membuat saya bingung untuk memilih. Maka saya pun meminta untuk dihidangkan di meja, agar saya bisa memilih lebih baik lauk apa yang ingin saya makan. Setelah mencicipi nasi kapau pasar atas ini, rasanya memang sedikit berbeda dengan rumah makan padang lainnya. Ada satu bumbu atau rempah yang rasanya begitu kuat dan mendominasi masakan; entah daun apa namanya.

Waktunya membayar adalah momen mengagetkan bagi saya. Karena ternyata harganya berkali-kali lipat harga nasi padang dimanapun yang pernah saya masuki. Usut punya usut, jika ingin lebih murah kita harus memesan nasi secara rames, bukan hidang di meja. Namun begitu tetap saja lebih mahal dari harga rumah makan padang lainnya.

Rekomendasi saya jika ingin makan nasi padang yang enak di Padang, datanglah ke Rumah makan Lamun Ombak. Tempat makannya bagus, besar, bersih, ber-AC, makanannya enak, harga bersahabat. Tak perlu menyusuri rumah makan di pasar yang becek, pengap dan panas hanya untuk membayar lebih mahal.

Goa Jepang


Lobang Jepang
Tidak jauh dari Jam Gadang, di samping Istana Bung Hatta – cukup berjalan kaki, kita dapat menemui objek wisata Goa Jepang. Merupakan saksi sejarah penjajahan Jepang di Indonesia. Goa ini dulunya digunakan sebagai tempat pertahanan tentara Jepang di Bukit Tinggi, sekitar tahun 1942 – 1945.  

Lorong Goa Jepang
Goa buatan ini memiliki panjang lebih kurang 1,5 km, namun yang dibuka untuk publik sekitar 750m saja, dengan kedalaman goa dari permukaan tanah sekitar 40m. Goa ini sudah diberi penerang cahaya neon dan disemen serta diberi puving block di bagian lantainya. Namun bagian dinding masih dipertahankan dalam kondisi awal, bertekstur sekat yang dulunya digunakan sebagai peredam suara di dalam goa.

Sebagai tempat perlindungan, di dalam goa ini dapat ditemukan ruangan-ruangan seperti ruang penyimpanan amunisi, ruang sidang, ruang tahanan, dapur, juga ruang penyimpanan mayat tahanan yang mati karena siksaan di dalam penjara. Bagian ujung liang goa ini mengarah ke Sungai Sianok, dengan lorong-lorong yang cukup membuat bergidik.

Benteng - Fort de Kock

Benteng - Fort de Kock


Tak jauh dari Goa Jepang, masih berjalan kaki (kira-kira 1km dari Jam Gadang), bisa kita jumpai Fort de Kock – benteng peninggalan jaman Belanda yang dibangun sebagai pertahanan terhadap perlawanan rakyat Minangkabau yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.

Meriam di sisi benteng
Benteng yang terletak di atas Bukit Jirek Negeri Bukit Tinggi ini dibangun tahun 1825 oleh Kapten Bauer. Sampai saat ini kita masih bisa melihat sisa keangkuhan benteng Belanda dalam bangunan setinggi 20 meter yang dilengkapi meriam di keempat sisinya. Sementara kawasan sekitar benteng telah mejelma menjadi taman rindang dilengkapi tempat bermain anak-anak. Benteng ini berada dalam kawasan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan Bukit Tinggi. Terdapat sebuah jembatan yang menghubungkan area benteng dengan kawasan kebun binatang; bernama Jembatan Limpapeh.

Pemandangan dari atas benteng

Cukup membayar retribusi sebesar Rp. 5.000 untuk melihat benteng dan menikmati kawasan pegunungan sekitar yang indah. Cobalah untuk naik ke atas benteng, dari sana pemandangan Kota Bukit Tinggi terlihat begitu mempesona. Di dekat kawasan kebun binatang juga terdapat museum Rumah Adat Baanjuang. Retribusi Rp. 1.000 dikenakan untuk pengunjung yang ingin memasuki rumah adat tersebut.






Ngarai Sianok

Ngarai Sianok

Dari Benteng Fort de Kock, saya kembali menuju mobil diparkir dan meluncur ke arah Ngarai Sianok. Gak lengkap banget jika menginjakkan kaki di Bukit Tinggi tanpa melintasi ngarai yang elok ini.

Ngarai Sianok terletak di tengah kota Bukit Tinggi, merupakan sebuah lembah curam sedalam 100m yang memanjang dan berkelok sepanjang 15km, membentang dari Koto gadang sampai ke nagari Sianok Anam Suku dan berakhir di Palupuh.

Ngarai Sianok merupakan hasil dari gerakan turun kulit bumi (sinklinal) yang membentuk dinding curam dan menjelma menjadi lembah hijau yang cantik dimana mengalir Batang Sianok (Sungai Sianok) yang jernih di tengahnya. Pada jaman Belanda, Ngarai Sianok disebut sebagai “Karbouwengat” atau kerbau sanget, dikarenakan banyaknya kerbau liar yang hidup bebas di dasar ngarai.

Pemandangan yang indah, udara yang bersih, membuat saya betah berlama-lama duduk di tepi Batang Sianok. Namun sore semakin menua, saya harus kembali ke Kota Padang, menuju Bandara Internasional Minangkau, mengejar pesawat yang akan membawa saya kembali ke Jakarta.


Waktu yang sempit membuat saya mengunjungi tiap situs secara kilat, tidak puas rasanya terburu-buru namun cukup senang mendapati banyak hal baru. Tiga hari yang komplit di tanah Minang; pekerjaan selesai, wisata tercapai.... Suatu saat nanti saya akan kembali. Masih ada kelok 44, Danau Maninjau, Batu Sangkar, dan tempat cantik lainnya yang harus dikunjungi. Sampai jumpa Tanah Minang....!