Hari Tiga:
Hari terakhir tugas saya di
Padang. Karena jadwal meeting dan segala urusan sudah dipadatkan kemarin, maka
hari ini tidak ada lagi hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Sementara pesawat ke
Jakarta masih setelah maghrib nanti.... Terlalu banyak waktu untuk sekedar
berkeliling Padang, namun cukup sempit untuk mengunjungi Bukit Tinggi. Akhirnya
setelah dipikir-pikir dan berhitung waktu, jadilah saya tekadkan meluncur ke
Bukit Tinggi. Kata orang, belum ke Sumatera Barat jika belum menginjakkan kaki
di Bukit Tinggi. Demi pengakuan, yuukk mariii kita meluncur.... :D
Lembah Anai
Air Terjun Lembai Anai |
Cagar Alam Lembah Anai adalah
hamparan hutan hujan tropis yang telah ditetapkan sebagai kawasan suaka alam
sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda tahun 1922, namun begitu keberadaan
cagar alam seluas 221 ha ini kurang dikenal masyarakat. Air Terjun Lembah Anai lah yang lebih
dikenal, bukan cagar alamnya.
Kabarnya terdapat 2 air terjun
lainnya di dalam kawasan hutan, namun saya tidak sempat untuk berkunjung ke
sana. Air terjun yang terdapat di pinggir jalan inilah yang menjadi ikon bagi
Lembah Anai. Satu yang terlintas di benak saya, jika debit air sedang tinggi
tentunya air akan meluap membanjiri jalan raya di bawahnya. Apalagi di sisi
jalan raya mengalir Sungai (Batang) Anai yang terlihat cantik, namun dapat
berubah “buas” saat musim hujan datang. Luapan airnya bukan saja membanjiri
jalan, namun dapat juga merobohkan tembok, menyebabkan kemacetan panjang
berkilo meter.
Pandai Sikek – Songket
Tempat pemberhentian lain sebelum
mencapai Bukit Tinggi adalah Pandai Sikek, sebuah perkampungan penghasil
songket. Saya sempatkan berkeliling, mengunjungi rumah-rumah penghasil songket,
melihat cara membuatnya dan memandangi koleksi songket aneka warna yang indah.
Di sisi kiri – kanan jalan juga dapat dijumpai toko-toko penjual songket, dan mukena
dengan bordir cantik. Hampir saya lupa waktu terlalu asik melihat-lihat,
memilih dan menawar. Wanita memang agak susah jika harus menahan waktu
berbelanja... :p Setelah mendapat 2 potong songket dan 1 set mukena bordir,
sayapun melanjutkan perjalanan menuju Bukit Tinggi.
***
Memasuki wilayah Bukit Tinggi
memang terasa bedanya, alam perbukitan yang sejuk, hijau, jalan berkelok,
pemandangan sekeliling yang indah, tidak sabar rasanya turun dari mobil dan
menjelajah berjalan kaki. Dan ternyata objek wisata di Bukit Tinggi memang saling
berdekatan dan bisa dicapai dengan berjalan kaki.
Jam Gadang
Jam Gadang |
Objek pertama yang menarik mata
adalah Jam Gadang. Sebuah jam tower yang terletak di tengah alun-alun,
didirikan pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada controleur,
sekretaris Kota Bukit Tinggi saat itu. Kabarnya mesin Jam Gadang ini memiliki
kembaran di dunia. Dan kembarannya itu ternyata berada di London. Bisa ditebak?
Yup, Big Ben yang terdapat di menara kantor parlemen Inggris yang terkenal
itulah kembaran dari Jam Gadang. Forman (seorang bangsawan terkenal) pembuat mesin
jam yang berkerja secara manual ini, memberi nama mesin tersebut Brixlion.
Jam Gadang yang awal
pembangunannya menghabiskan biaya sekitar 3000 Gulden itu telah mengalami
renovasi berkali-kali. Pada jaman Belanda, puncak dari Jam Gadang berbentuk
bulat dengan patung ayam jantan bertengger di atasnya. Kemudian diubah menjadi
bentuk klenteng pada jaman Jepang. Barulah setelah Indonesia merdeka, puncak
jam Gadang berbentuk rumah adat Minangkabau.
Angka Romawi pada Jam Gadang |
Satu hal yang unik dari Jam
Gadang yang mungkin luput dari pengamatan orang adalah angka empat Romawi yang
terdapat dalam jam tersebut; tidak tertulis IV pada umumnya, namun IIII. Tidak
ada yang tau dan tidak pula terdapat keterangan kenapa tertulis IIII, bukan IV.
Mungkin IV dapat diartikan sebagai “I Victory” yang berarti “Aku menang”, hal
yang tentu saja tidak diinginkan pemerintahBelanda saat itu. Namun secara
tertulis tidak ada keterangan resmi mengenai hal tersebut.
Istana Bung Hatta
Istana Bung Hatta |
Tepat di seberang Jam
Gadang terdapat Istana Bung Hatta. Istana ini dulunya adalah kediaman Asisten
Residen Belanda di Bukit Tinggi, yang kemudian digunakan sebagai tempat
kediaman Wakil Presiden RI. Sebelum bernama Istana Bung Hatta, bangunan ini
dulunya bernama Rumah Tamu Agung, berganti Gedung Tri Arga, dan berganti
kembali Wisma Hatta.
Dari Gedung inilah Bung
Hatta memimpin perjuangan kemerdekaan di wilayah Sumatera Barat, mengadakan
pertemuan dengan pemimpin setempat dan membuat keputusan politik.
Saat ini Istana Bung Hatta
difungsikan sebagai tempat penginapan bagi Presiden, Wakil Presiden, serta tamu
Negara yang berkunjung ke Sumatera Barat, selain juga digunakan sebagai Gedung
Serba Guna Negara.
Sayangnya kita tidak
diijinkan masuk mendekati bangunan untuk sekedar tau dan menambah wawasan.
Pasar Atas - Nasi Kapau
Masih di area sekitar Jam Gadang,
tak jauh dari situ terdapat pasar yang disebut pasar atas. Yang terkenal dari
pasar atas ini adalah penjual Nasi Kapau yang tersohor rasanya. Sayapun tergoda
untuk mencicipi nasi kapau di sini. Nasi Kapau Uni Lis, namanya. Saya harus
masuk ke dalam pasar, menyusuri pasar yang becek dan pengap demi membuktikan
kelezatan rasa nasi kapau Uni Lis.
Tempat makannya sangat sederhana,
seperti halnya warteg di pasar pada umumnya. Begitu masuk ada tumpukan lauk
aneka macam yang membuat saya bingung untuk memilih. Maka saya pun meminta
untuk dihidangkan di meja, agar saya bisa memilih lebih baik lauk apa yang
ingin saya makan. Setelah mencicipi nasi kapau pasar atas ini, rasanya memang
sedikit berbeda dengan rumah makan padang lainnya. Ada satu bumbu atau rempah
yang rasanya begitu kuat dan mendominasi masakan; entah daun apa namanya.
Waktunya membayar adalah momen
mengagetkan bagi saya. Karena ternyata harganya berkali-kali lipat harga nasi
padang dimanapun yang pernah saya masuki. Usut punya usut, jika ingin lebih
murah kita harus memesan nasi secara rames, bukan hidang di meja. Namun begitu
tetap saja lebih mahal dari harga rumah makan padang lainnya.
Rekomendasi saya jika ingin makan
nasi padang yang enak di Padang, datanglah ke Rumah makan Lamun Ombak. Tempat
makannya bagus, besar, bersih, ber-AC, makanannya enak, harga bersahabat. Tak
perlu menyusuri rumah makan di pasar yang becek, pengap dan panas hanya untuk
membayar lebih mahal.
Goa Jepang
Lobang Jepang |
Tidak jauh dari Jam Gadang, di
samping Istana Bung Hatta – cukup berjalan kaki, kita dapat menemui objek
wisata Goa Jepang. Merupakan saksi sejarah penjajahan Jepang di Indonesia. Goa ini
dulunya digunakan sebagai tempat pertahanan tentara Jepang di Bukit Tinggi,
sekitar tahun 1942 – 1945.
Lorong Goa Jepang |
Goa buatan ini memiliki panjang
lebih kurang 1,5 km, namun yang dibuka untuk publik sekitar 750m saja, dengan
kedalaman goa dari permukaan tanah sekitar 40m. Goa ini sudah diberi penerang
cahaya neon dan disemen serta diberi puving block di bagian lantainya. Namun
bagian dinding masih dipertahankan dalam kondisi awal, bertekstur sekat yang
dulunya digunakan sebagai peredam suara di dalam goa.
Sebagai tempat perlindungan, di
dalam goa ini dapat ditemukan ruangan-ruangan seperti ruang penyimpanan
amunisi, ruang sidang, ruang tahanan, dapur, juga ruang penyimpanan mayat tahanan
yang mati karena siksaan di dalam penjara. Bagian ujung liang goa ini mengarah
ke Sungai Sianok, dengan lorong-lorong yang cukup membuat bergidik.
Benteng - Fort de Kock
Benteng - Fort de Kock |
Tak jauh dari Goa Jepang, masih
berjalan kaki (kira-kira 1km dari Jam Gadang), bisa kita jumpai Fort de Kock –
benteng peninggalan jaman Belanda yang dibangun sebagai pertahanan terhadap
perlawanan rakyat Minangkabau yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.
Meriam di sisi benteng |
Benteng yang terletak di atas
Bukit Jirek Negeri Bukit Tinggi ini dibangun tahun 1825 oleh Kapten Bauer.
Sampai saat ini kita masih bisa melihat sisa keangkuhan benteng Belanda dalam bangunan
setinggi 20 meter yang dilengkapi meriam di keempat sisinya. Sementara kawasan
sekitar benteng telah mejelma menjadi taman rindang dilengkapi tempat bermain
anak-anak. Benteng ini berada dalam kawasan Taman Margasatwa dan Budaya
Kinantan Bukit Tinggi. Terdapat sebuah jembatan yang menghubungkan area benteng
dengan kawasan kebun binatang; bernama Jembatan Limpapeh.
Pemandangan dari atas benteng |
Cukup membayar retribusi sebesar
Rp. 5.000 untuk melihat benteng dan menikmati kawasan pegunungan sekitar yang
indah. Cobalah untuk naik ke atas benteng, dari sana pemandangan Kota Bukit
Tinggi terlihat begitu mempesona. Di dekat kawasan kebun binatang juga terdapat
museum Rumah Adat Baanjuang. Retribusi Rp. 1.000 dikenakan untuk pengunjung
yang ingin memasuki rumah adat tersebut.
Ngarai Sianok
Ngarai Sianok |
Dari Benteng Fort de Kock, saya kembali menuju mobil diparkir dan meluncur ke arah Ngarai Sianok. Gak lengkap banget jika menginjakkan kaki di Bukit Tinggi tanpa melintasi ngarai yang elok ini.
Ngarai Sianok terletak di tengah
kota Bukit Tinggi, merupakan sebuah lembah curam sedalam 100m yang memanjang
dan berkelok sepanjang 15km, membentang dari Koto gadang sampai ke nagari
Sianok Anam Suku dan berakhir di Palupuh.
Ngarai Sianok merupakan hasil
dari gerakan turun kulit bumi (sinklinal) yang membentuk dinding curam dan
menjelma menjadi lembah hijau yang cantik dimana mengalir Batang Sianok (Sungai
Sianok) yang jernih di tengahnya. Pada jaman Belanda, Ngarai Sianok disebut
sebagai “Karbouwengat” atau kerbau sanget, dikarenakan banyaknya kerbau liar
yang hidup bebas di dasar ngarai.
Pemandangan yang indah, udara
yang bersih, membuat saya betah berlama-lama duduk di tepi Batang Sianok. Namun
sore semakin menua, saya harus kembali ke Kota Padang, menuju Bandara
Internasional Minangkau, mengejar pesawat yang akan membawa saya kembali ke
Jakarta.
Waktu yang sempit membuat saya
mengunjungi tiap situs secara kilat, tidak puas rasanya terburu-buru namun
cukup senang mendapati banyak hal baru. Tiga hari yang komplit di tanah Minang;
pekerjaan selesai, wisata tercapai.... Suatu saat nanti saya akan kembali.
Masih ada kelok 44, Danau Maninjau, Batu Sangkar, dan tempat cantik lainnya
yang harus dikunjungi. Sampai jumpa Tanah Minang....!